Sabtu, 22 Desember 2012

IKHTISAR TATA BAHASA ARAB

Posted by Asas CnC @rt On 19.48 | No comments
1. Pendahuluan

1.1. Deskripsi singkat
Materi ini berisikan pengertian bahasa Arab, pentingnya mempelajari Bahasa Arab, muatan bahasa Arab, ilmu-ilmu yang berkaian dengannya, serta ikhtisar tata bahasa Arab

1.2 Relevansi
Dengan mempelajari materi ini mahasiswa akan mendapakan gambaran mengenai pentingnya mempelajari Bahasa Arab ini khususnya dalam kaitannya dengan keberadaannya sebagai salah satu mata kuliah di jurusan Sastra Indonesia.


1.3 Standar Kompetensi
Mahasiswa akan dapat menjelaskan pengertian, latar belakang dan cakupan tata bahasa Arab

1.4 Kompetensi Dasar
a. mahasiswa mampu menjelaskan pengertian bahasa Arab
b. mahasiswa mampu menjelaskan kaitan bahasa Arab dengan keberadaan jurusan Sastra Indonesia
  1. mahasiswa mampu menjelaskan pokok-pokok pelajaran bahasa Arab
  2. mahassiwa mampu menjelaskan pengaruh Bahasa Arab terhadap Bahasa Indonesia
  3. mahasiswa mampu menjelaskan ikhtisar tata bahasa Arab Dasar
1.5 Indikator
a. menjelaskan pengertian bahasa Arab
b. menjelaskan kaitan bahasa Arab dengan keberadaan jurusan Sastra Indonesia
c. menjelaskan pentingnya mempelajari Bahasa Arab
d. menjelaskan pengaruh Bahasa Arab terhadap Bahasa Indonesia
e. menjelaskan cakupan tata bahasa Arab
f. menjelaskan pola dasar bahasa Arab


2. Penyajian
A. PENGERTIAN BAHASA ARAB
Mengawali seluruh bahan pelajaran yang hendak disajikan dalam buku ini, perlu dikemukakan sekedar penjelasan tentang duduk persoalan yang se­sungguhnya dari Bahasa Arab. Tujuannya, agar para mahasiswa terhindar dari kemungkinan terjadinya salah pengertian yang menganggap kecil dan remeh akan pentingnya mempelajari Bahasa Arab. Sebaliknya, dengan pengertian yang benar maka akan tumbuh semangat dan usaha yang tak mengenal lelah untuk mempelajarinya sampai benar-benar berhasil.
Bahasa Arab, dapat diartikan sebagai bahasa yang mula-mula berasal, tumbuh, dan berkembang di negara-negara Arab kawasan Timur-Tengah. Dari satu segi, bahasa Arab memang merupakan bahasa agama, bahasa persatuan bagi umat Islam di seluruh dunia. Dengan bahasa inilah Al-Qur’an kitab suci umat Islam diturunkan, dan dengannya pula Nabi Muhammad saw melaksa­nakan tugas risalahnya kepada umat manusia. Akan tetapi, perkembangan se­lanjutnya telah menjadikan Bahasa Arab sebagai bahasa internasional seperti halnya Bahasa Inggris yang terkenal itu, sehingga di samping untuk keperlu­an agama Bahasa Arab jugs dapat dipakai sebagai media komunikasi biasa da­lam pergaulan bangsa-bangsa di dunia.
Bahasa Arab adalah bahasa yang ti­dak dapat dipisahkan dari Islam. Bahasa ini sering juga disebut sebagai bahasa Islam. Selain itu, bahasa ini dikatakan pula sebagai bahasa al-Qur‘an, karena al-Qur‘an ditulis dengan bahasa tersebut. Bahasa Arab kini dipakai sebagai bahasa resmi Islamic World League (Rabithah Alam Islam!), dan Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang beranggo­takan 45 negara Islam atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Is­lam.
Akan tetapi, bukan berarti bahasa Arab hanya digunakan oleh umat Islam saja. Seperti diketahui bahwa kawasan Urubah, yakni kawasan yang meliputi 21 negara Arab yang meliputi Arab Afrika, Arab Asia, maupun Arab Teluk yang ter­gabung dalam Liga Arab dan berbahasa resmi bahasa Arab, tidak semuanya me­meluk Islam. Bahasa Arab sekarang juga merupakan bahasa resmi kelima di Per­serikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak tahun 1973. Selain itu, bahasa Arab juga dipakai sebagai bahasa resmi Orga­nisasi Persatuan Afrika, OPA (Hadi, 1994: 2-3).
Dengan demikian, bahasa Arab merupakan bahasa internasional yang digunakan oleh berbagai bangsa di dunia. Di samping itu, bahasa Arab juga merupakan bahasa ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh bukan hanya umat Islam saja. jika dihitung jumlah negara yang memakai dan menggunakan Bahasa Arab sebagai bahasa resmi ( bahasa nasional ), niscaya akan diketahui betapa luasnya Timur-Tengah. Dapat disebutkan, antara lain bahasa Arab ada­lah merupakan bahasa resmi di : Saudi Arabia, Maroko, Aljazair, Tunisia, Libia, Mesir, Sudan, Libanon, Siria, Yordania, Irak, dan Persatuan Emirat Arab (Bawani, 1997: 23)
Bahasa Arab tidak dapat dipisahkan dengan Islam karena sumber hukum Is­lam adalah al-Qur‘an dan al-hadis, keduanya berbahasa Arab. Pelaksanaan sholat, baik sholat wajib maupun sunat, juga harus dilakukan dengan bahasa Arab. Sholat tidak sah apabila dilakukan dengan bahasa lain, bukan bahasa Arab. Selanjutnya, perlu dikemukakan pula bahwa kendati pun doa-doa di dalam Is­lam boleh dilakukan dengan bahasa selain bahasa Arab, namun kenyataannya kebanyakan doa dilakukan juga dengan bahasa Arab.
Berbagai ilmu pengetahuan Islam yang meliputi tafsir, fikih, ushul fikih, ushuluddin, hadis, dan ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan agama Islam ke­banyakan juga ditulis dalam bahasa Arab. Kendati pun al-Qur‘an maupun hadis serta buku-buku tersebut juga telah diterjemahkan ke berbagai macam bahasa di dunia ini, namun seseorang belum dapat dikatakan alim atau ber­pengetahuan luas tentang masalah-masalah agama, kalau tidak menguasai bahasa Arab. Maaf, di sini penulis tidak ingin mengajarkan agama Islam itu sendiri, namun pembicaraan eratnya kai­tan antara bahasa Arab dan Islam pasti akan mencakup hal-hal tersebut.
Karena eratnya kaitan antara Islam dan bahasa Arab, maka wajarlah apabila dikatakan ke mana Islam tersebar ke sana pula bahasa Arab tersiar. Begitu pula halnya penyebaran agama Islam ke Indonesia dengan pe­ngaruhnya terhadap berbagai aspek ke­hidupan, di antaranya dalam bidang ba­hasa dan sastra, maka bahasa Arab ikut pula berpengaruh terhadap kedua as­pek kehidupan tersebut

B. Teori Masuknya Islam ke Indone­sia
Azyumardi Azra mengelaborasi mengenai teori-teori tentang masuknya Islam ke Indonesia. Dari elaborasinya ia melahirkan empat kesimpulan. Pertama, Islam dibawa langsung dari Arabia. Kedua, Islam diperkenalkan oleh para guru dan penyiar profesional. Ketiga, yang mula-mula masuk Islam adalah para pejabat. Dan keempat, kebanyakan para penyebar Islam ini datang ke Nusantara pada abad ke-12 dan 13. Se­Ianjutnya dinyatakan bahwa Islam sudah diperkenalkan di dan ke Nusantara pada abad-abad pertama hijriah, akan tetapi baru sesudah abad ke-12 pengaruh Is­lam mulai kelihatan nyata. Karena itu, proses Islamisasi nampaknya mengalami akselerasi antara abad ke-12 dan ke-16 (Azra, 1995: 30-31).
Proses Islamisasi mengalami tiga fase perkembangan. Pertama, tahun 1200­-1400 fikih memegang peranan utama. Kedua, tahun 1400-1700, tasawuf mulai berkembang. Ketiga, tahun 1700-selan­jutnya, tasawuf dan syariah berkem­bang bersama-sama (Al-Attas, 1969: 30). Penyiaran Islam dilakukan oleh para profesional. Daerah-­daerah yang menjadi objek dakwah teru­tama meliputi daerah Melayu-Indonesia, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumbawa, dan Maluku. Penelitian Azra selanjutnya mengungkap banyaknya ulama Melayu­Indonesia yang belajar di Haramain (Mekkah dan Madinah), pada abad ke-17 dan 18, sedangkan Hurgronje meneliti ulama Indonesia yang belajar di Haramain pada akhir abad ke-19.
Muslim Melayu-Indonesia dan para ulama Jawi yakni ulama yang datang dari kawasan Nusantara Jawi (Nabilah Lubis, 1991: 7) atau Jawah Ulema (Hurgronje, 1985: 70), dan Mus­lim-Jawa mempunyai kontribusi besar dalam perkembangan dakwah Islam. Di samping itu, sejak abad ke-17 telah ter­jadi hubungan keagamaan dan keilmuan. Kecenderungan intelektual­ keagamaan yang sangat menyolok adalah perkembangan syariah dan tasawuf. Maka dari itu, kemudian lahir­lah karya-karya monumental sastra kea­gamaan yang sangat kaya, bercorak syariah dan tasawuf yang diungkapkan dalam bahasa Melayu, bahasa Arab, maupun bahasa Jawa.

C. PENTINGNYA MEMPELAJARI BAHASA ARAB.
1. Bahasa Arab dan Pertumbuhan Kesusastraan Nusantara
Perkembangan intelektual Muslim Melayu-Indonesia pada kurun waktu yang lalu telah memberikan kontribusi yang besar terhadap pengayaan khazanah intelektual dalam bidang ba­hasa, sastra, dan agama. Karya-karya sastra Melayu lama yang banyak mengandung unsur Islam disebut sebagai sas­tra keagamaan atau sastra Islam (Yock Fang, 1978: 187). Secara garis besar, sastra keaga­maan ini dapat digolongkan menjadi tiga corak: sastra rekaan, sastra kesejarah­an, dan sastra kitab (Chamamah, 1980: 149).
Sastra rekaan berupa cerita fiksi, pada umumnya dapat digolongkan ke dalam hikayat dalam arti sebenamya, ialah karya yang mengemukakan secara imajinatif tokoh-tokoh Islam rekaan, mi­salnya Hikayat Banjar, Hikayat Raja Han­dak, Hikayat Raja Jumjumah, dan sebagainya. Sedangkan sastra kesejarahan ialah karya sastra yang di dalamnya tercermin peristiwa­-peristiwa sejarah, yakni sejarah penye­baran Islam serta raja-raja Islam, misal­nya Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Iskandar Dzulkamain, Hikayat Muhammad Hanafiah, Hikayat Saif Dzul-Yazan, dan lain-lain. Adapun sastra Kitab adalah karya sastra yang isinya berkisar pada masalah-­masalah keislaman. Termasuk di dalamya adalah karya yang berisi ilmu fikih, tasawuf, ilmu kalam dan tarikh, serta tokoh-tokoh historis. Contohnya adalah karya-karya Hamzah Fansuri (Muntahi, Asrarul-Arifin, Syarabul-Asy­ikin, At-Tuhfatul-Mursalah ilar-Ruhin ­Nabi), Syamsuddin As-Samatrani (Ushuluddin dan Tahqiq, Mir‘atul-Qulub, Mir‘atul-Mukminin, Mir‘atul-lman) Nuruddin ar-Raniri (Hujjatush-Shid­diq, Thibyan fi Ma‘rifatil-Adyan, Asrarul­ Insan fi Ma‘rifatir-Ruh wa‘r-Rahman, Ma‘ul-Hayat li ahlil-Mamat), Abdush-Shamad al- Falimbani.
Naskah Melayu ribuan jumlahnya, namun tidak diketahui dengan pasti jum­lahnya secara tepat. Chamber Loir, ahli perpustakaan bangsa Prancis mem­perkirakan sekitar 4000 buah naskah berdasarkan berbagai katalogus dan jumlah ini tersebar di 27 negara. Ismail Husain memperkirakan ada sekitar 5000 naskah Melayu dan lebih kurang seper­empatnya berada di Indonesia dan terbanyak berada di Jakarta (Chamamah, 1974: 20).
Sastra kitab dari khazanah naskah Melayu lama tersebut banyak yang judul­nya berbahasa Arab, bahkan banyak pula yang ditulis dengan bahasa Arab. Selain itu, perlu dikemukakan di sini bah­wa kendatipun sastra keagamaan tersebut ditulis dengan bahasa Melayu de­ngan huruf Jawi, namun biasanya eksordiumnya atau formula pembukanya di­tulis dengan bahasa Arab yang ben­tuknya menyerupai bentuk mukadimah khutbah (Roosdi, 1965: 85 via Chamamah, 1979: 6). Di samping itu, isinya sering mengutip ayat-ayat al-Qur‘an maupun hadis Nabi, dan sering pula ditemukan kata-kata mutiara dari para ulama dalam bahasa Arab.
Khazanah sastra Melayu lama meliputi jumlah yang cukup besar. Di antaranya adalah khazanah sastra keagamaan (Is­lam) yang cukup besar jumlahnya itu di­tulis dengan huruf Jawi, yakni huruf yang berasal dari huruf Arab (Hijaiyyah) de­ngan penambahan tanda-tanda diakritik sesuai dengan kebutuhan karena adanya perbedaan vokal maupun konso­nan Arab dan Melayu. Kenyataan seja­rah menunjukkan bahwa huruf Jawi ini telah mempunyai jasa besar dalam mengomunikasikan khazanah intelek­tual Muslim Melayu-Indonesia. Karya­-karya besar para sastrawan, ulama, pe­nyair dari kurun waktu yang sangat lama sampai abad ke-20 ditulis dengan huruf Jawi ini.
Selain itu juga berkembang jenis tulisan pegon. Kata pegon berasal dari bahasa Jawa pego artinya  tidak lazim dalam mengucapkan bahasa Jawa. Hal ini mungkin disebabkan karena banyaknya kata Jawa yang ditulis dengan tulisan Arab dan menjadi aneh ketika diucapkan (Kro­mopawiro, 1867: 1). Menurut Pigeaud (via Pudjiastuti, 1994: 3), teks Jawa yang ditulis dengan aksara Arab disebut teks pegon artinya, sesuatu yang berkesan menyimpang. Penamaan ini mungkin disebabkan karena jumlah aksara yang diparalelkan dengan aksara Jawa lebih sedikit dari aksara Arab yang mejadi dasarnya. Perlu ditegaskan di sini men­gapa menjadi aneh, pego dan menyim­pang, tentu saja yang paling tepat, ba­hasa Jawa ditulis dengan aksaranya sendiri yakni aksara Jawa. Sastra suluk, dan pensyarahan kitab kuning dengan cara nadhoman, terjemahan nadhoman, terjemahan jenggotan mau­pun jenis sastra berbentuk syi‘iran, semuanya ditulis dengan tulisan pegon. Seperti halnya tulis­an Jawi, pegon juga memakai jenis naskhi, tsuluts,i dan tidak ada jenis tulisan Arab model Jawa. Selain itu, perlu diketahui juga bahwa pegon mengenal dua macam variasi, yakni pegon ber­harakat dan pegon gondhil (tak ber­harakat).
Khazanah keagamaan Islam, baik Melayu maupun Jawa sangat erat sekali kaitannya de­ngan bahasa Arab yakni banyaknya kata, ungkapan, istilah, kata mutiara dari ulama, dan ayat al-Qur‘an, hadis Nabi yang terkandung di dalamnya, serta penggunaan tulisan Arab untuk penulis­an bahasa Melayu dan Jawa, maka se­harusnyalah bahasa Arab dikuasai untuk telaah pada bidang-bidang tersebut.

2. Pengaruh Bahasa Arab terhadap Bahasa Indonesia
Kontak bahasa yang terjadi antara satu masyarakat dan masyarakat yang lain akan berpengaruh pada bahasa yang bersangkutan. Kontak bahasa itu tidak dapat dipisahkan Jengan kontak budaya yang terjadi, bahkan dipandang sebagai salah satu aspek kontak budaya. Weinreich (1953:5) menyebutkan bahwa pengaruh bahasa lain ke bahasa tertentu merupakan difusi dan akulturasi budaya. Menurut Schuchardt, seperti yang dikutip Haugen (1992:1.98), pengaruh tersebut terlihat pada kosakata yang dipungut oleh bahasa tertentu. Hal itu merupakan ciri keuniversalan bahasa. Tidak ada satu bahasa pun yang luput dari pengaruh bahasa atau dialek lain. Bahasa Inggris yang merupakan bahasa terkemuka, misalnya, memungut tidak kurang dari separuh kosakatanya dari bahasa Latin, Yunani, Skandinavia, dan Perancis (Robins, 1991: 438; Gonda, 1973: 26 Moeliono ,:968:40-41; 1981:162). Bahkan, bahasa Inggris merupakan salah satu bahasa Eropa yang terbuka terhadap pungutan (Jespersen, 1955; Baugh, 1968; Ahmad, 1992).
Masalah pemungutan ke dalam suatu bahasa berkaitan dengan tingkat kedwibahasaan masyarakat yang melakukan pemungutan itu (Haugen, 1950; 1973; Broselow, 1991:200­201). Pada awalnya pemungutan terbatas pada penutur dwibahasawan. Setelah menjadi pungutan (”barang jadi”), penutur ekabahasawan memanfaatkannya menjadi kata sehari-hari (Moeliono, 1989:162; Samsuri, 1980:58). Hal itu ditandai pula oleh penggunaan dua bahasa secara bergantian dan berturut-turut oleh penutur dwibahasawan atau alih kode (Haugen, 1992:198), baik dalam bentuk sebuah kalimat maupun di antara kalimat sehingga menghasilkan butir pungutan bare ke dalam perbendaharaan bahasanya (Clyne, 1987).
Kondisi yang demikian berlaku pula di dalam bahasa Indonesia. Sebagai masyarakat yang multibahasa, alih kode yang menghasilkan pemungutan itu berlangsung dalam kehidupan berbahasa. Hal itu terlihat dengan cukup banyak­nya pungutan dari berbagai bahasa, baik dari bahasa asing maupun dari bahasa daerah. Salah satu pungutan itu berasal dari bahasa Arab.
Pengaruh bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu—yang kemudian bernama bahasa Indonesia—bersamaan dengan masuk agama Islam ke Nusantara. Berkaitan dengan pengaruh bahasa Arab itu.
Melalui para pedagang, musafir, dan mubalig Arab, Persia, dan India (Gujarat) agama Islam diterima oleh penduduk asli melalui kontak bahasa. Pengaruh bahasa Arab itu tampak -ada pungutan kata-kata Arab ke dalam bahasa sehari-hari Baried, 1982; Ruskhan, 1990/1991), terutama dalam laras -keagamaan. Misalnya, akal, hebat, dan mungkin dalam peng­gunaan sehari-hari di samping dalam laras keagamaan seperti Insya Allah, ruhul-kudus, dan rasul.
Pungutan bahasa Arab laras keagamaan dapat kita perhatikan seperti dalam teks berikut ini.
Seorang bisa dikatakan beriman manakala telah melaksanakan segala perintah Allah dalam bentuk amal-amal saleh; dan pelaksanaan amal saleh ini sebagai bukti keimanan dan keyakinannya terhadap Tuhan. Oleh karena itu, maka kalimat iman yang artinya percaya dan Islam yang artinya menyerah, tunduk, dan taat adalah dua kalimat yang tidak bisa dipisahkan selama-lamanya. Tidaklah cukup percaya saja tanpa ada penyerahan diri: dan penyerahan tidaklah berarti tanpa ada kepercayaan dan keimanan (Rasyid, 1990:31).
Teks berikut juga memperlihatkan penggunaan pungutan Bahasa Arab dalam ranch keagamaan, khususnya dalam agama Nasrani.
Karena itu, orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu bertanya kepada­Nya: “Mengapa murid-murid-Mu tidak hidup menurut adat-ishadat nenek moyang kita, tetapi makan dengan tangan najis? Jawab-Nya kepada mereka: “Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! … (Markus 7:5-6).
Berdasarkan teks yang pertama, kita dapat mencatat pungutan bahasa Arab yang digunakan dalam laras agama Islam. Kata-kata iman dalam beriman dan keimanan, Allah, amal(-amal) saleh, yakin dalam keyakinan, kalimat, Islam, dan taat merupakan contoh pungutan yang oleh Haugen (1950; 1992) disebut pemasukan (importation). Sementara itu, terdapat pula pungutan seperti menyerah, penyerahan diri, dan tunduk, yang oleh Haugen (1950; 1992) prosesnya disebut penyulihan (substitution).
Berdasarkan contoh kedua teks di atas, kita memperoleh gambaran bahwa pungutan bahasa Arab cukup banyak kita temukan dalam laras keagamaan, baik dalam agama Islam—tampaknya paling dominan—maupun dalam agama Nasrani.
Sampai saat ini belum diketahui secara kuantitatif berapa jumlah pungutan laras keagamaan itu. Walaupun cukup banyak kamus istilah ataupun ensiklopedia yang ada, jumlah pungutan itu bervariasi. Disamping itu, bagaimana pula wujud leksikal pungutan bahasa Arab laras keagamaan itu, baik segi bentuk maupun segi maknanya, tampaknya belum ada penelitian yang memadai (Ruskhan, 2007: 164)

3. Pengaruh Bahasa Arab terhadap kosa kata bahasa Indonesia
Kosakata bahasa Indonesia dan bahasa Melayu yang berasal dari bahasa Arab cukup banyak, diperkirakan sekitar 2.000 - 3.000. Namun frekuensinya tidak terlalu besar. Secara relatif diperkirakan jumlah ini antara 10 % - 15 %. Sebagian kata-kata Arab ini masih utuh dalam arti yang sesuai antara lafal dan maknanya, dan ada sebagian lagi berubah. (Wikipedia, 2008). Misalnya berikut ini:
1. Lafal dan arti masih sesuai dengan aslinya, misalnya:
a. abad, abadi, abah, abdi, adat, adil, amal, aljabar, almanak, awal, akhir,
b. bakhil, baligh, batil, barakah,
c. daftar, hikayat, ilmu, insan, hikmah, halal, haram, hakim,
d. khas, khianat, khidmat, khitan, kiamat
e. musyawarah, markas, mistar, mahkamah, musibah, mungkar, maut,
f. kitab, kuliah, kursi, kertas, nisbah, nafas,
g. syariat, ulama, wajib, ziarah.
2. Lafalnya berubah, artinya tetap, misalnya:
a. berkah, barakat, atau berkat dari kata barakah
b. buya dari kata abuya
c. derajat dari kata darajah
d. kabar dari kata khabar
e. lafal dari kata lafazh
f. lalim dari kata zhalim
g. makalah dari kata maqalatun
h. masalah dari kata mas-alatuna
i. mungkin dari kata mumkinun
j. resmi dari kata rasmiyyun
k. soal dari kata suaalun
l. rezeki dari kata rizq
m. Sekarat dari kata Zakarotil
n. Nama2 hari dalam sepekan : Ahad (belakangan jadi Minggu artinya=1), Senin (Isnaini=2), Selasa (Salasa), Rabu (Arba’a), Kamis (Khomsa), Jum’at dan Sabtu
3. Lafal dan arti berubah dari lafal dan arti semula, misalnya:
a. keparat dalam bahasa Indonesia merupakan kata makian yang kira-kira bersepadan dengan kata sialan, berasal dari kata kafarat yang dalam bahasa Arab berarti tebusan.
b. logat dalam bahasa Indonesia bermakna dialek atau aksen, berasal dari kata lughah yang bermakna bahasa atau aksen.
c. naskah dari kata nuskhatun yang bermakna secarik kertas.
d. perlu, berasal dari kata fardhu yang bermakna harus.
e. petuah dalam bahasa Indonesia bermakna nasihat, berasal dari kata fatwa yang bermakna pendapat hukum.
f. laskar dalam bahasa indonesia bermakna prajurit atau serdadu, berasal dari kata ‘askar yang berarti sama
4. Lafalnya benar, artinya berubah, seperti:
a. ahli
b. “kalimat” dalam bahasa Indonesia bermakna rangkaian kata-kata, berasal dari bahasa Arab yang bermakna kata.
c. siasat

D. POKOK—POKOK PELAJARAN BAHASA ARAB.
Untuk dapat memahami bahasa Arab, ada beberapa cabang ilmu sebagai pendukungnya, antara lain sebagai berikut ini :
1. Ilmu Ashwat
Dalam tata bahasa Indonesia, ilmu ini biasanya dikenal dengan nama “fonologi,” atau ilmu tata bunyi. Maksudnya, ialah suatu ilmu yang mem­bicarakan perihal bunyi ujaran yang dipakai dalam tutur-kata, dan sekali­gus mempelajari bagaimana menghasilkan bunyi-bunyi tersebut dengan alat ucap manusia. Sedang dalam tata bahasa Inggris, ilmu ashwat ini hampir sa­ma dengan “phonetics,” yang biasanya telah dikenal pada permulaan mem­pelajari bahasa Inggris. Dan ternyata demikian pula halnya, ilmu ashwat ju­ga harus kita kuasai sebagai langkah awal dalam mempelajari bahasa Arab.
Pokok masalah yang dibicarakan dalam ilmu ashwat ialah cara mengucapkan abjad Arab dengan fashih dan benar(makhroj huruf hijaiyah) baik ketika berdiri sen­diri sebagai abjad maupun setelah dirangkaikan dan diberi harokat menurut keperluan yang ada. Hanya saja dalam buku ini ilmu ashwat sengaja ti­dak dibicarakan, dengan maksud agar tidak mempertebal jumlah halaman, di samping sejak semula memang buku-ini dipersiapkan untuk mereka yang sudah menguasai perihal huruf hijaiyah secara baik sehingga otomatis su­dah mampu membaca tulisan Arab dengan fashih dan benar.
Namun demikian, jika misalnya ada di antara kita yang ingin mem­perdalam lebih lanjut perihal ilmu ashwat (fonologi) ini, barangkali wak­tunya tidak akan pemah terlambat. Sebab betapapun juga ilmu ashwat adalah kunci pertama dalam mempelajari bahasa Arab, di samping itu bu­ku-buku yang berkaitan dengan ilmu tersebut sudah banyak beredar. Atau bahkan lebih baik jika dalam mempelajari makhroj huruf hijaiyah kita dapat memperoleh bimbingan langsung dari mereka yang ahli paling tidak melalui petunjuk lisan yang telah direkam dalam kased. Ini perlu dipertim­bangkan, mengingat ada sebagian huruf Arab yang makhrojnya tidak mungkin dijilmakan secara tepat dan benar melalui tulisan Latin yang kita kenal selama ini.
2. Ilmu Shorof
Dalam tata bahasa Indonesia, yang hampir sama dengan ilmu shorof ini ialah “morfologi,” atau ilmu bentuk kata. Hanya sedikit berbeda dalam beberapa segi penekanannya, di mana sebagaimana kita ketahui dalam bahasa Indonesia ada dua macam bentuk kata, yaitu kata dasar ( morfem be-bas) dan kata imbuhan ( morfem terikat ). Penggunaan teori ini misalnya dari kata dasar “tulis” dengan bantuan morfem terikat dapat kits bentuk sejumlah kata baru seperti : menulis,-tulisan, penulis, tertulis, tulislah, tem­pat menulis, -waktu menulis, alat menulis, dan seterusnya. Di sini morfem “tulis” dalam proses perubahan tersebut masih tampak unsur keasliannya walaupun kadang-kadang huruf t nya menjilma menjadi n , seperti menulis dan bukan mentulis.
Ilmu shorof dalam salah satu intinya jugs mengarah ke sana, hanya saja yang disebut kata dasar itu setelah menjadi kata jadian ternyata ta­ta - bunyi dan tulisannya banyak mengalami perubahan. Contohnya
مَكْتَبٌ
مَكْتُوْبٌ
كَاتِبٌ
يَكْتُبُ
كَتَبَ
tempat menulis
yang ditulis
penulis
sedang menulis
Telah menulis
Selain terdapat perubahan tata-bunyi dan bentuk tulisan itu, sebagaimana tampak di atas bahwa artinya adalah menulis dan bukan tulis
Walau demikian, dalam segi tertentu,jelas terdapat persamaan antara ilmu shorof dengan morfologi. Dan karena itulah, agaknya tidak terlalu su­lit bagi kita untuk mempelajari ilmu shorof kelak pada waktunya,sebagai langkah ke dua dalam,mempelajari bahasa. Arab guna mengetahui bentuk-­bentuk serta proses.perubahan sesuatu kata menurut qaidah yang berlaku dalam bahasa ini.
3. Ilmu Nahwu.
Menurut peristilahan tata bahasa modem, cabang ilmu semacam ini dikenal dengan nama “sintaksis,” yaitu bagian dari tata bahasa yang mem­pelajari dasar-dasar dan proses pembentukan kalimat. Jadi sasarannya bu­kan lagi perihal huruf dan bukan pula kata, melainkan kalimat yang sudah berdiri secara lengkap sempurna serta memiliki arti yang dapat difahami se­seorang. Dalam tata bahasa Indonesia, sintaksis ini antara lain membicarakan tentang jabatau kata dalam kalimat, misalnya subyek, predikat, obyek,dan sebagainya. Demikian pula halnya ilmu nahwu, salah satu pokok pem­bicaraannya adalah seperti itu. Hanya perlu diketahui bahwa ilmu nahwu, selain membicarakan uraian kalimat menjadi beberapa kata dengan jaba­tan nya masing-masing, ada segi lain yang cukup penting yaitu perihal ter­jadinya perbedaan bunyi akhir dari sesuatu kata atas dasar perbedaan ja­batannya dalam kalimat. Misalnya setiap subyek hares diharokati dhum­mah pada huruf yang paling akhir, sedang untuk obyek penderita harus di­harokati fathah pada huruf yang paling akhir tersebut. Kita ambil sebagai contoh
اَلْعِلْمُ نَـافِعٌ
ilmu itu bermanfaat
اَنَا اَطْلُبُ الْعِلْمَ
saya menuntut ilmu.
Dari contoh di atas tampak pada kata ilmu. yang pertama sebagai subyek diharokati dhummah yakni نَـافِعٌ sedang yang kedua sebagai obyek penderita diharokati fathah yakni الْعِلْمَ
Dalam praktek penggunaannya, ilmu nahwu ini sama sekali tidak da­pat dipisahkan dengan ilmu shorof dan ilmu ashwat. Atau dengan kata lain ilmu nahwu selalu membutuhkan bantuan dari ilmu shorof dan ilmu ash­wat. Barangkali atas dasar pertimbangan inilah, banyak fihak yang berang­gapan bahwa ilmu nahwu adalah satu -satunya dalam tata-bahasa Arab. Karena dengan.menyebut ilmu nahwu, berarti telah masuk di dalamnya ilmu shorof dan ilmu ashwat.
Terlepas dari perbedaan pendapat yang ada, memang kenyataannya ilmu nahwu ini mempunyai kedudukan yang teramat penting, malahan seringkali dianggap sebagai inti dari tata-bahasa Arab. Dan oleh karena itu, adalah satu keharusan bagi kita untuk menguasai ilmu tersebut. Sebab ha­nya dengan cara inilah kita akhirnya berhasil memiliki kemampuan berba­hasa Arab dalam arti yang selengkapnya.

4. Addirosatul Mu’jamiyah/ leksikologi
Cabang ilmu ini dalam tata-bahasa modem disebut “leksikologi,” yaitu ilmu yang membicarakan perihal perbendaharaan kata. Bagi orang yang ingin menguasaibahasa Arab, ilmu ini pun hares pula diperhatikan, mengingat bahasa Arab terkenal sebagai bahasa yang sangat kayo dengan kosakata. Adakalanya sebuah kata mempunyai banyak pengertian, dan se­baliknya puluhan bahkan ratusan kata tetapi hanya memiliki satu arti. Misalnya untuk menyebutkan “singa” diperkirakan ada 500 kata yang satu sama lainnya merupakan sinonim, dan untuk pengertian “ular” ada 200 kata yang dapat kita pergunakan.
Masih pula terdapat masalah lain yang merupakan bidang pemba­hasan addirosatul mu’jamiyah, yaitu perihal idiomatik dalam bahasa Arab. Maksudnya ialah ilmu yang mempelajari ketentuan khusus dalam tata ba­hasa Arab”, ketentuan mana diperoleh dan didengar dari kebiasaan berba­hasa di kalangan masyarakat Arab, dan perlu diketahui bahwa karena ke­khususannya itulah akhirnya ketentuan sebagai dimaksud tidak dapat di­masukkan ke dalam qaidah tata bahasa Arab yang berlaku secara umum.
Perihal idiomatik itu perlu dipelajari, karena jika tidak maka sese­orang dapat berbu at kesalahan dalam mengartikan dan menyusun kalimatberbahasa Arab. Misalnya kata قَضَى yang arti aslinya menghukumi, suatu saat bisa diartikan menghendaki dan pada situasi yang lain berarti menghancurkan, semua ini tergantung pada konteks susunan kalimatnya.

5. Ilmu Balaghoh.
Ilmu ini pada pokoknya membicarakan tentang gaya-bahasa seperti penggunaan kata-kata kiasan, personiflkasi, dan sebagainya. Jadi sasaran­nya telah menyangkut keindahan bahasa, atau semacam ilmu kesusasteraan dalam bahasa Indonesia. Misalnya kalimat
وَاحْفِظْ لَهُمَا جَنَاحَ الذَُلِّ (dan rendahkanlah kepada ke duanya ( orang tua ) itu sayap kehinaan).
Ten­tu saja yang dimaksud bukan sayap dalam arti yang sebenarnya, sebab ma­na mungkin ada manusia yang memiliki sayap.
Dalam bahasa Indonesia juga banyak dipergunakan kata-kata kiasan atau yang bukan maksud sesungguhnya, seperti : Ibu menanak nasi, se­benarnya yang dimasak adalah beras; lautan maaf, sejuta kata, menyelami perasaan, dan sebagainya. Tentu saja akan salah apabila kata-kata semacam itu kits fahami menurut arti aslinya, dan oleh karena itu perlu memper­halus perasaan berbahasa dengan bantuan ilmu sastera atau ilmu balaghoh dalam tata bahasa Arab.
Namun demikian, kita pun menyadari bahwa cabang tata bahasa Arab yangdisebut ilmu balaghoh agaknya belum mendesakuntuk dipelajari oleh seseorang yang baru dalam tahap permulaan mengenal bahasa Arab. Dalam arti, dibanding ilmu-ilmu lain yang diuraikan terdahulu, ilmu balag­hoh masih dapat dikemudiankan mempelajarinya. Ini bukan berarti bahwa ilmu balaghoh tidak penting. Sebab betapa pun juga, dalam kenyataannya berbahasa itu baik secara lisan maupun tulisan pada saat tertentu perlu di­hiasi dengan gaya-bahasa dan ungkapan kata-kata yang indah, agar nanti­nya tidak menimbulkan suasana kaku dan membosankan.
Sampai di sini jelaslah, ada beberapa cabang ilmu yang merupakan po­kok-pokok pelajaran bahasa Arab. Hanya saja dalam buku ini tidak disuguh­kan secara keseluruhan, melainkan bagian penting-penting saja yang dipertim­bangkan sangat mendesak untuk kita kuasai. Mengingat tujuan utama dari mata kuliah ini hanya sekedar mengetahui dasar-dasar tata bahasa Arab saja. Ilmu-ilmu itu dapat diperdalam khusus bagi yang akan memperdalam lebih lanjut tentang bahasa Arab.

E. POLA DASAR BAHASA ARAB
Pola dasar, maksudnya adalah kerangka, bagan atau garis-garis besar yang menjadi inti pembahasan tata bahasa Arab. Dengan kata lain, pada kesempatan ini ki­ta hendak membicarakan objek atau sasaran utama yang merupakan unsur terbentuknya tata-bahasa Arab. Tujuannya agar nanti memperoleh gambaran yang jelas tentang pokok-pokok pelajaran yang akan kita ikuti selanjutnya.
Hampir semua tata bahasa itu pada dasarnya memiliki pokok-pokok pembicaraan yang sama, intinya perihal huruf, kata, dan kalimat. Antara satu dengan yang lain terdapat hubungan erat. Menurut tata urutannya, huruf atau abjad adalah bagian yang paling kecil, kemudian kata, dan dari rangkaian kata-kata maka terciptalah suatu kalimat. Ini pun bisa diteruskan menjadi bagian yang lebih besar, misal­nya dari beberapa kalimat terciptalah alinea, dari sejumlah alinea membentuk fasal, dari kumpulan fasal-fasal terbentuklah bab, akhirnya isi karangan selu­ruhnya yang menggambarkan wujud dari suatu bahasa.
Akan tetapi, sesungguhnya mulai urutan alinea dan seterusnya, tidak lain berintikan pada kalimat. Sebab kalimat-kalimat yang tersusun pada ali­nea itulah sebenarnya yang mengandung arti secara sempuma, sehingga kalimat-kalimat itulah yang menjadi bagian pokok dari suatu bahasa. Oleh kare - nanya jika kita telah menguasai perihal kalimat, otomatis sama dengan menguasai tata bahasa tersebut secara keseluruhan. Namun demikian, tidak mungkin disangkal bahwa untuk sampai ke sana kita harus menguasai bagian yang lebih kecil dahulu yaitu huruf ( abjad ) dan menyusul perihal kata.

1. Abjad Arab (Huruf Hija’iyyah )
Abjad Arab, istilah aslinya disebut “huruf hijaiyyah” atau huruf Al-Qur­,an. Junilahnya 28 atau 30, dimulai dari alif ( ا) dan diakhiri dengan ya (ي)
Sebelum mempelajari bahasa Arab, kita harus menguasai lebih dahulu perihal huruf hijaiyah. Pertama cara mengucapkan tiap-tiap huruf secara fashih, ke dua harus halal bentuk-bentuk dan cara menulisnya, ke tiga cara merangkainya guna membentuk suatu kata yang mengandung arti atau menyusun kalimat sempurna, dan sebagainya. Juga harus pula dikuasai tentang syakal atau harakat, sekaligus penggunaan masing-masing dalam menulis Arab.
Tentang apa manfaatnya mempelajari huruf hijaiyah, kiranya sudah je­las bahwa huruf hijaiyah itulah yang merupakan unsur paling pokok bagi ter­bentuknya sebuah kata dan sekaligus kalimat berbahasa Arab. Misalnya dari huruf kaf ( ك), ta’ تdan ba’ ب ( kita dapat menyusun kata ( كَتَبَ ) yang artinya dia (lk) telah menulis, kemudian dari huruf dal (د )ro’ ( ر) dan sin (س) dapat dibentuk kata (د ر س ) yang artinya pelajaran, dan sebagainya. Walhasil, mempelajari huruf hijaiyah itu mutlak perlu, dan sekaligus merupakan langkah awal bagi orang yang ingin mempelajari bahasa Arab lebih lanjut

2. Kata (Al—Kalimah ).
Yang paling awal perlu diketahui dalam hubungan ini adalah mengenai istilah “al-kalimat”, karena memang ada perbedaan dengan yang kita kenal dalam tata bahasa Indonesia. Apa yang kita kenal dalam tata bahasa Indonesia sebagai “kata,” dalam tata bahasa Arab disebut “al-kalimah”
Seperti halnya kata, pengertian “al-kalimah” yaitu : lafad yangmenunjukkan suatu arti tertentu yang sifatnya tunggal tanpa ada hubungannya dengan lafad Yang lain. Atau dapat pula diartikan lafad yang menunjukkan satu arti (mak­na tunggal ).
Selanjutnya, tentang pembagian al-kalimah ( kata ). Dalam tata bahasa Indonesia ( gaya lama ), “kata” dibagi menjadi 10 jenis, yaitu :,kata benda, kata kerja, kata sifat, kata ganti, kata keterangan, kata bilangan, kata sam­bung, kata depan, kata sandang, kata seru. Sedang tata bahasa Indonesia ( ga­ya baru ) hanya mengakui 4 jenis kata, yaitu : kata benda, kata kerja, kata si­fat, kata tugas. Agaknya pembagian jenis kata yang kedua inilah yang mirip dengan kaidah dalam tata bahasa - Arab, yang hanya membagi kata ke dalam tiga jenis yaitu : isim, fi’il, dan harf. Penjelasan masing-masing adalah se­bagai tersebut di bawah ini.
a. Isim
Dari segi bahasa, isim artinya adalah nama. Sedang menurut istilah, Yang dimaksud isim dalam tata bahasa Arab adalah : jenis kata yang menunjukkan nama atau sebutan terhadap sesuatu. Misalnya ( اِنْسَـانٌ )manusia ,( كَبِيْـرٌ) besar,( خَمْسَةٌ) lima, ( اَنْتَ) engkau, dan sebagainya. Jadi isim itu tidak sama dengan kata benda,me­lainkan lebih luas dari pengertian tersebut, sebab termasuk di dalamnya antara lain kata sifat, kata bilangan, kata ganti, kata penunjuk, kata san­dang, dan kata tanya. Jika dibanding dengan pembagian jenis kata menurut tata bahasa Indonesia ( gaya baru ), maka kata sifat yang ada dalam pem­bagian tersebut menurut tata bahasa Arab termasuk jenis isim.
b. Fi’il
Pengertian fiil persis sama dengan “kata kerja” dalam bahasa Indo­nesia, yaitu : jenis kata yang menunjukkan terjadinya pekerjaan, perbuat­an, atau peristiwa, baik pada mass yang lalu, sekarang, maupun akan datang. Contohnya,= telah menulis, sedang menulis, penulis, yang ditulis, tulislah, dan sebagainya.
Tentu saja ada bedanya, karena kata kerja dalam bahasa Indonesia tidak mengenal perubahan bentuk walaupun waktu pelaksanaannya berbe­da. Tidak mungkin terjadi perubahan bentuk pada kata kerja menulis, mi­salnya menjadi menulus atau menulas.

c. Harf
Pengertian harf adalah semacam “kata perangkai,” atau menurut ta­ta bahasa Indonesia ( gaya baru ) disebut “kata tugas,” yaitu : jenis kata yang memiliki tugas untuk menyambung suatu kata dengan kata yang lain atau kalimat satu dengan kalimat yang lain. Dapat pula dikatakan, bahwa harf ( kata tugas ) adalah : suatu kata yang gunanya untuk memperluas atau mengadakan transformasi kata atau kalimat. Contohnya
Dan وَ
فِي di
فَ maka
dengan مَعَ
tidak لاَ
belum لَمَّ
dan sebagainya.

3. Kalimah (Jumlah Mufidah ).
Apa yang kita kenal dalam bahasa Indonesia sebagai “kalimat,” me­nurut tata bahasa Arab disebut ” kalam ” atau ” jumlah mufidah
Kalam, artinya pembicaraan atau percakapan. Sedang jumlah mufidah, artinya susunan kata-kata yang berfai­dah. Dikatakan berfaidah, karena susunan kata-kata tersebut dapat menjadi­kan orang lain mengerti akan isi yang terkandung di dalamnya. Dengan de­mikian, yang dimaksud jumlah mufidah atau kalam ( kalimat ), adalah : su­sunan kata-kata yang mempunyai pengertian sempurna dan dapat difahami se­seorang menurut isi yang terkandung di dalamnya.
Suatu kalimat, kalam, atau jumlah mufidah, pada dasarnya dimaksud­kan sebagai alat untuk menyampaikan isi hati atau keinginan seseorang kepa­da orang lain, baik melalui lisan maupun tulisan. Keinginan itu bisa berma­cam-macam, misalnya : ingin memberi tahu atau menyampaikan berita, untuk bertanya, memerintah, melarang, atau sekedar memanggil saja. Oleh karena­nya, sebagaimana kita ketahui dalam tata bahasa Indonesia, maka dalam tata bahasa Arab juga ada beberapa jenis kalimat, antara lain :
1
Kalam khabar
Kalimat berita
اَنَا اَتَعَلَّمُ
Saya belajar
2
Kalam istifham
Kalimat tanya
اَيْنَ تَتَعَـلَّمْ
Di mana kamu belajar?
3
Kalam amar
Kalimat perintah
اِعْلَمْ
Belajarlah
4
Kalam nahi
Kalimat larangan
لاَ تَعْلَمْ
Jangan belajar
5
Kalam nida’
Kalimat panggilan
يَا اَخِيْ
Hai Saudara?
Akan tetapi, dalam bahasa mana pun biasanya ada satu jenis kalimat. yang dianggap paling pokok atau yang merupakan standar dalam arti menjadi pedoman bagi penyusunan jenis kalimat yang lain. Menurut tata bahasa Arab, yang dianggap sebagai standar atau induk dari semua jenis kalimat ialah kali­mat berita ( kalam khabariyah = jumlah khabariyah). Dengan alasan, karena baik pertanyaan, perintah, larangan, maupun panggilan, semua itu pada haki­katnya mengandung unsur pemberitahuan atau penyampaian isi hati si pembi­cara kepada orang lain. Maka demikianlah, ketika membicarakan tata bahasa Arab yang ada hubungannya dengan soal kalimat, maka yang menjadi ukuran atau standar adalah kalimat berita dan bukan jenis kalimat yang lain.
Dalam tata bahasa Arab, jum­lah khabariyah itu bisa terjadi atau disusun melalui dua cara yaitu jumlah ismiyah dan jumlah fi’liyah

a. Jumlah ismiyah
Maksudnya ialah, suatu kalimat yang diawali dengan sebuah kata jenis isim. Contohnya, antara lain sebagai berikut :
اَبِي طَبِيْبٌ
= Ayahku Dokter
اَلْبَيْتُ كَبِيْـرٌ
= Rumah itu besar.
اَحْمَدُ يَكْتُبُ
= Ahmad (sedang) ) menulis
Dengan demikian, sebagai pedoman untuk mengelompokkan suatu kalimat ke dalam “jumlah ismiyah,” pada pokoknya kata pertama (yang diterangkan ) harus termasuk jenis isim. Sedang kata ke dua ( yang mene­rangkan ) tidak ads ketentuan, dalam arti boleh dari jenis isim dan bisa pula dari jenis fiil. Kata pertama yang diterangkan, dalam tata bahasa Arab disebut mubtada’ (مُبْتَدَأ) atau sama dengan pokok kalimat. Sedang kata ke dua yang menerangkan disebut khabar (خَبَر) atau sama dengan predikat dalam tata bahasa Indonesia .
Atas dasar keterangan itu, maka jumlah ismiyah tidak dapat disa­makan dengan sekedar kalimat nominal, melainkan termasuk juga ke da­lamnya kalimat verbal yang kita kenal dalam tata bahasa Indonesia. Se­bab baik kalimat nominal maupun verbal (walaupun berbeda predikat­nya), akan tetapi kata yang pertama (subjeknya) sama-sama katabenda. Padahal setiap kalimat yang subjeknya kata benda ( termasuk jenis isim), walaupun berbeda predikatnya,maka dapat digolongkan sebagai “jumlah ismiyah” menurut tata bahasa Arab.

b. Jumlah fi’liyah
Maksudnya ialah : suatu kalimat yang diawali dengan sebuah kata jenis fiil ( kata kerja ), kemudian diikuti oleh pelaku pekerjaan tersebut yang dalam tata bahasa Arab disebut fa’il. Sebagai contoh, antara lain adalah
جَـأَ الضّضيْفُ
Datanglah tamu itu.
فَخَرَجَ اَبِيْ مِنَ الْحُجْرَةِ
Maka keluarlah Ayah saya dari kamar.
اِذْهَبْ اَنْتَ يَا وَلَدِيْ
Pergilah kau, hai anakku.
Jelaslah, bahwa sebagai pedoman untuk mengelompokkan suatu kalimat ke dalam “jumlah filiyah,” maka kata yang pertama ( di permulaan ) harus termasuk jenis kalimah fiil ( kata kerja ). Sedang kata kedua ( yang jatuh setelah kata pertama ), otomatis menunjukkan pelaku dari­pada kata kerja tersebut.
Ketentuan semacam ini berbeda dengan yang berlaku dalam tata bahasa Indonesia. Menurut tata bahasa Indonesia, setiap kalimat pada dasarnya harus tersusun dari pokok kalimat ( subjek ) lebih dahulu, dan ba­ru diikuti oleh kata sebutan ( predikat ). Dengan demikian, ketiga kalimat tersebut jika mengikuti ketentuan tata bahasa Indonesia maka susun­annya menjadi sebagai berikut :
الضّضيْفُ جَـأَ
Tamu itu telah datang
اَبِيْ خرَجَ مِنَ الْحُجْرَةِ
Ayah saya keluar dari kamar
اَنْتَ اِذْهَبْ يَا وَلَدِيْ
Kau pergilah , hai anakku
Jika susunannya diubah seperti ini, sebenarnya memang bisa wa­laupun ada beberapa bagian yang dinilai janggal menurut tata bahasa Arab. Akan tetapi persoalannya menjadi lain karena susunan ketiga kalimat terakhir ini sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai “jumlah fi’li­yah,” melainkan telah berubah menjadi “jumlah ismiyah.” Mengapa de­mikian ? Kita lihat, pada ketiga kalimat tersebut kata “Tamu, Ayah sa­ya, dan Kau” letaknya di permulaan kalimat. Padahal, sebagaimana kita ketahui ke tiga kata itu termasuk jenis isim. Karma ke tiga kata itu ter­masuk isim dan letaknya di awal kalimat, maka sesuai dengan ketentuan yang ada keiga susunan itu termasuk kategori jumlah ismiyah.
Berdasarkan penjelasan tersebut, akhirnya dapat kita simpulkan bahwa jumlah fi’liyah ( susunan fiil dan fa’il ) memang hanya khusus ter­dapat dalam bahasa Arab, dan oleh karena itu tidak perlu dicari persa­maannya dalam tata bahasa Indonesia. Lebih dari itu ‘perlu diketahui, bahwa jumlah fi’liyah tidak sama dengan kalimat verbal ( predikatnya kata kerja ) yang kita kenal dalam tata bahasa Indonesia. Sebab apa yang kita kenal sebagai kalimat verbal, kenyataannya menurut tata bahasa Arab justru termasuk kelompok jumlah ismiyah susunan mubtada’ dan khabar ) sebagaimana telah diuraikan terdahulu.

3. Penutup
3.1 Tes Formatif
Jawablah pertanyaan berikut dengan singka dan jelas
1. Apa relevansi mempelajari bahasa Arab bagi mahasiswa jurusan Sastra Indonesia?
2. Apa saja cabang ilmu yang dicakup oleh tata bahasa Arab
3. Menyangkut apa saja pembicaraan tata bahasa Arab itu?
4. Sebutkan beberapa kosa kata bahasa Indonesia yang berasal dari kosa kata bahasa Arab

3.2 Umpan Balik
Bagaimana? Apakah Anda sudah dapat mengerjakan soal dan latihan dengan benar semua? Cocokkan dengan kunci jawaban di belakang

3.3 Tindak lanjut
Apabila Anda dapat menjawab soal
10 – 50 % : berarti Anda belum mampu menguasai materi. Silakan ulangi lagi dan bertanyalah kepada dosen Anda
50 – 70 % : Anda sudah menguasai, namun masih perlu pengayaan lagi
70 – 100 %: Selamat! Anda telah menguasai materi, silakan melanjutkan ke materi berikutnya.

3.4 Rangkuman
Peta Konsep
Ikhtisar Tata Bahasa Arab
للغة العر بية
الجملة المفيدة الكلمة حرف الهجائية
قوا عد اللغة اللعربية
حرف الهجائية
الكلمة
الحرف الفعل الإسم
الجملة المفيدة
الجملة الفعلية الجملة الإسمية
الفا عل الفعل الخبر المبتدء

1.3.5 Kunci Jawaban tes formatif
1. Jurusan Sastra Indonesia mempelajari ilmu linguistic, dan ilmu sastra, termasuk sastra lama / filologi dan sastra modern. Banyak kata-kata serapan dari bahasa Arab yang masuk ke dalam bahasa Indonesia. Perkembangan sastra Indonesia juga tidak dapat dilepaskan dengan bahasa Arab. Tradisi tulisan dalam sastra Melayu justru dimulai dari sastra kitab oleh Hamzah Fansuri. Dengan mempelajari bahasa Arab diharapkan mahasiswa jurusan Sastra Indonesia dapat mengetahui asal usul kata bahasa Indonesia khususnya dan perkembangan bahsa dan sastra Indonesia pada umumnya.
2. Cabang ilmu yang dicakup oleh tata bahasa Arab anara lain ilmu ashwat, ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu balaghah, ilmu ma’ani, ilmu badi’.
3. Pembicaraan tata bahasa Arab menyangkut penguasaan huruf hijaiyyah, termasuk cara membaca, menulis dan merangkaikannya, kata (kalimah), dan kalimat (jumlah)
4. beberapa kosa kata bahasa Indonesia yang berasal dari kosa kata bahasa Arab antara lain Lafal dan arti masih sesuai dengan aslinya (abad, abadi, abah, abdi, adat, adil, amal, aljabar, almanak, awal, akhir, bakhil, baligh, batil, barakah, dsb), Lafalnya berubah, artinya tetap (berkah, barakat, atau berkat dari kata barakah; buya dari kata abuyam, dsb); Lafal dan arti berubah dari lafal dan arti semula (keparat dalam bahasa Indonesia merupakan kata makian yang kira-kira bersepadan dengan kata sialan, berasal dari kata kafarat yang dalam bahasa Arab berarti tebusan); Lafalnya benar, artinya berubah (ahli, “kalimat” dalam bahasa Indonesia bermakna rangkaian kata-kata, berasal dari bahasa Arab yang bermakna kata, siasat), dsb.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Attas, Syed Naguib. 1969. Preliminary Statement on A General Theory of The Islamization of The Malay-Indonesian Archipelago. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pus­taka.
Azra,Asyumardi. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusan­tara Abad XVII dan XVIII. Ban­dung: Mizan.
Baroroh Baried, Siti. 1985. “Perkembangan llmu Tasawuf di Indonesia: Suatu Pendekatan Filolo­gis”, dalam Sulastin Sutrisno, Darusuprapto, Sudaryanto (ed.). Bahasa­ Sastra-Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada Univer­sity Press.
Bawani, Imam. 1987. Tata Bahasa Bahasa Arab Tingkat Permulaan. Surabaya: Al Ikhlas
Chamamah Soeratno, Siti. 1982. Memahami Karya-karya Nu­ruddin Arraniri. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
.—-. 1988. Hikayat Iskandar Zulkamain: Sun­tingan Teks dan Analisis Resepsi. Dis­ertasi, Universitas Gadjah Mada.
—— . 1994. “Keberadaan Bahasa Arab dalam Bahasa Indonesia: Tinjauan atas Sum­bangannya bagi Perkembangan Ba­hasa Indonesia”. (Makalah Seminar Pekan Budaya Arab). Yogyakarta: IMABA UGM.
Hadi, Syamsul. 1979. “Bahasa Arab dan Studi Sastra Melayu Lama. Makalah untuk Penataran Ilmu Sastra Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM Yogyakarta.
—— . 1994. “Bahasa Arab dan Komunikasi Intemasional”, makalah untuk Seminar Nasional Budaya Arab. IMABA UGM: Yogyakarta.
—— . 1995. “Bahasa Arab dan Khazanah In­telektual Islam di Indonesia”, makalah untuk Seminar Kontribusi Sastra Arab dalam Khazanah Intelektual Islam Masa Kini: Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 6 Mei 1995.
———–1995 Bahasa Arab dan Khazanah Sastra Keagamaan di Indonesia”. Jurnal Ilmiah Humaniora. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya UGM
Ikram, A. 1993. “Pengaruh Dunia Budaya Is­lam Terhadap Sastra Klasik Nusantara” makalah Untuk Seminar Nasional Sas­tra Arab dan Islam. Program Studi Arab, Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indo­nesia.
Liaw Yock Fang. 1978. Sejarah Kesusas­teraan Melayu Klasik. Singapura: Pustaka Nasional.
Lubis, Nabilah. 1991. Suntingan Naskah Zub­dat AI-Asrar fi Tahqiq Ba‘d Masyarib Al-Akhyar Karya Syeikh Yusuf Al-Taj. Disertasi, Jakarta: IAIN Syarif Hiddayatullah.
Pudjiastuti, Titik. 1993. “Aksara Pegon: Sarana Dakwah dan Sastra dalam Budaya Jawa”, makalah untuk Temu Wicara Antar Jurusan Daerah, Univer­sitas dan IKIP se Indonesia di UGM Yogyakarta.
Rifa‘i Hasan, Ahmad (ed.). 1990. Warisan Intelektual Islam Indonesia: Telaah Atas Karya-karya Klasik. Bandung: Penerbit Mi­zan.
Ruskhan, Abdul Ghaffar. 2007. Bahasa Arab dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Grasindo
Van Bruinessen, Martin. 1995. Kitab Kuning: Pesantren dan Terekat Islam di Indone­sia.
SENARAI
a. ikhtisar tata bahasa Arab
b. ilmu ashwat
c. ilmu nahwu
d. ilmu sharaf
e. ilmu balaghah
f. huruf hijaiyyah
g. kata serapan

0 komentar:

Posting Komentar

Tag Cloud Comulus Labels

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Unordered List